Rabu, 15 Februari 2012

bpk dan transparasi fiskal


BPK dan Transparansi Fiskal

Tuntutan Masyarakat Untuk Melakukan Reformasi Sistem Sosial, Politik, Dan
Ekonomi Guna Mewujudkan Demokrasi Telah Mengubah Sistem Dan Struktur Pemerintahan
Indonesia. Sementara Itu, Tuntutan Untuk Mengikis KKN Memerlukan Peningkatan
Transparansi Fiskal Atau Pengelolaan Maupun Pertanggungjawaban Keuangan Negara.
Transparansi Fiskal Merupakan Komponen Utama Dari Upaya Penciptaan Clean Government
Dan Good Governance. Sebagai Lembaga Pemeriksa Keuangan Negara, BPK RI Sangat
Berperan Dalam Mewujudkan Transparansi Fiskal Itu.

Tuntutan Reformasi Tersebut Telah Diwujudkan Dalam Bentuk Rangkaian Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 Dan Perubahan Perangkat Hukum Lain, Perubahan Kebijakan
Pemerintah Maupun Perubahan Mendasar Dalam Hal Pengelolaan Keuangan Negara.
Perubahan Dalam Sistem Dan Struktur Pemerintahan Antara Lain Tercermin Dari Perluasan
Otonomi Daerah Dan Pembagian Hak Serta Tanggung Jawab Antartingkat Pemerintahan.
Salah Satu Perubahan Mendasar Dalam Hal Pengelolaan Keuangan Negara Adalah Diaturnya
Kembali Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah.

Perubahan Sistem Pemerintahan Sekaligus Mengubah Lembaga Negara. Salah Satu
Perubahan Dalam Bidang Ini Adalah Dengan Menciptakan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) Dan Menata Ulang Fungsi Serta Peranan MPR. Anggota DPD Dipilih Dari Setiap
Provinsi Melalui Pemilihan Umum. Sementara Itu, MPR Kini Terdiri Dari Anggota DPR Dan
DPD, Tidak Lagi Memilih Presiden Dan Wakil Presiden Serta Tidak Lagi Menetapkan Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada Masa Lalu GBHN Menjadi Dasar Penyusunan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Yang Merupakan Program Pemerintah.
Dewasa Ini, Program Pemerintah Itu Disusun Berdasarkan Platform Presiden Yang Langsung Dipilih Oleh Rakyat.

Fungsi Dan Kedudukan BPK

Dalam Suatu Negara Demokratis, Sektor Pemerintah Dipisahkan Dengan Tegas Dari
Sektor Negara Maupun Dari Perekonomian Secara Keseluruhan. Kebijakan Maupun Fungsi
Manajemen Dalam Sektor Negara Harus Dibuat Transparan Dan Terbuka Luas Secara Umum.

Dalam Konteks Kehidupan Bernegara Di Indonesia Dewasa Ini, UUD 1945 Menciptakan
BPK Sebagai Lembaga Tinggi Negara Dengan Tugas Pokok Melakukan Pemeriksaan Atas
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Baik Berupa Stok Asetnya Maupun
Transaksi Dalam Membelanjai Kegiatannya. BPK Memeriksa Keuangan Negara Di Semua
Lapisan Tingkat Pemerintahan Di Indonesia.

Perubahan Ketiga Dari UUD 1945 Menempatkan BPK Dalam Suatu Bab Tersendiri
Yang Tadinya Hanya Disebut Dalam Ayat (5) Pasal 23 Dalam UUD 1945 Versi Semula.
Kedudukan, Tugas, Organisasi, Dan Cara Pemilihan Anggota BPK Juga Lebih Jelas Diatur
Dalam Perubahan UUD 1945 Yang Ketiga Itu. Untuk Dapat Melaksanakan Tugasnya, Pasal
23 G, Ayat 1 UUD 1945 Menyebut Bahwa, "BPK Berkedudukan Di Ibu Kota Negara, Dan
Memiliki Perwakilan Di Setiap Provinsi." Dengan Demikian, Kedudukan Maupun Peranan
BPK Dalam Mewujudkan Transparansi Fiskal Dan Menciptakan Clean Government Dan Good
Governance Di Indonesia Menjadi Lebih Jelas Dan Kokoh Dalam Perubahan UUD 1945
Yang Ketiga Itu.

Tujuan Pemeriksaan Oleh BPK Adalah Untuk Memelihara Transparansi Fiskal Guna
Menciptakan Clean Government Dan Good Governance. Elemen Pokok Transparansi Fiskal
Itu Berupa Integritas Ataupun Kebenaran Laporan Keuangan Negara. Dalam Pergaulan Dunia
Internasional, Standar Akuntansi Sektor Negara Disusun Oleh The Public Sector Committee
Of The International Federation Of Accountants (IFACPSC). Sementara Itu, Organisasi
Internasional Lembaga Tinggi Yang Melakukan Pemeriksaan Atau Audit Keuangan Negara
(INTOSAI-The International Organization Of Supreme Audit Institutions) Telah Menyusun
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Standar Yang Disusun Oleh Kedua Organisasi
Internasional, Serta Standar Yang Disusun Oleh Dana Moneter Internasional (IMF),
Dianggap The Best Practices Yang Menjadi Acuan Dunia.

Dilihat Dari Sudut Ilmu Manajemen, Pemeriksaan Keuangan Negara Yang Dilakukan
Oleh BPK Merupakan Mata Rantai Dari Siklus Perencanaan Nasional Jangka Panjang
Maupun Siklus Anggaran Tahunan. Dalam Kaitan Ini, Pasal 23E Ayat (2) Perubahan Ketiga
UUD 1945 Mengamanatkan Agar BPK Dapat Menyerahkan Hasil Pemeriksaannya Secara
Tepat Waktu Kepada DPR, DPD, Dan DPRD Sesuai Dengan Kewenangannya Masingmasing.
Amanat UUD 1945 Tersebut Diterjemahkan Dalam UU No. 17 Tahun 2003 Yang
Menugaskan BPK Agar Dapat Menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Dan
Daerah Kepada DPR Dan DPRD Selambat-Lambatnya Enam Bulan Setelah Berakhirnya
Tahun Anggaran.

Setelah Selesai Melakukan Pemeriksaan, BPK Menyusun Laporan Tertulis Atas Hasil
Pemeriksaannya. Laporan Pemeriksaan Itu Hendaknya Bersifat Independen, Objektif, Adil,
Dan Konstruktif. Suatu Laporan Bersifat Membangun Jika Diikuti Dengan Saran-Saran
Perbaikan Atas Temuan-Temuan Kekurangan Maupun Penyimpangan Yang Ada. Pasal 23E
UUD 1945 Mengamanatkan Agar Hasil Pemeriksaan BPK Ditindaklanjuti Oleh Lembagalembaga
Perwakilan Dan/Atau Badan Sesuai Dengan Undang-Undang. Isi Laporan BPK Itu
Sekaligus Merupakan Penilaian Atas Proyeksi Fiskal Maupun Ekonomi Makro Yang Menjadi
Dasar Penyusunan Anggaran Negara.

Agar Dapat Memberikan Opini Yang Adil Dan Objektif, Perubahan Ketiga UUD 1945
Menetapkan BPK Sebagai Suatu Lembaga Independen Yang Bebas Dan Mandiri (Pasal 23 F
Ayat 1). Ayat (2) Pasal 23 F Itu Kemudian Mengatur Bahwa Anggota BPK Dipilih Oleh DPR
Dengan Memperhatikan Pertimbangan DPD Dan Diresmikan Oleh Presiden. Pimpinan BPK
Dipilih Dari Dan Oleh Anggotanya Sendiri.

Namun, Masa Jabatan Dan Cara Pemberhentian Anggota BPK Masih Perlu Diatur
Dalam Undang-Undang Tersendiri. Undang-Undang Tersendiri Mengenai BPK Itu
Diharapkan Akan Sekaligus Mengatur Lebih Rinci Mengenai Tugas, Kewenangan, Dan
Akuntabilitas BPK. Termasuk Di Dalamnya Menyangkut Pengaturan Tentang Esensi
Independensi BPK Dalam Hal Anggaran, Perlindungan Hukum Serta Hubungan Maupun
Cara Penyelesaian Konflik Dengan Instansi Pemerintahan Lainnya.
Independensi BPK Bukan Berarti Ia Tidak Akuntabel, Dapat Berjalan Sendiri Tanpa
Kendali Maupun Pengawasan Dari Lembaga Lain. Apakah Dalam Hal Kebijakan Maupun
Anggaran. Yang Dimaksud Dengan Independensi BPK Hanya Menyangkut Hubungan
Kerjanya Dengan Instansi Pemerintah Lainnya, Terutama Oleh Penyampaian Opini Maupun
Saran-Saran Korektif Atas Hasil Temuan Pemeriksaannya.

Makna Pemeriksaan Keuangan Oleh BPK

Tugas Pemeriksaan Keuangan Negara Oleh BPK Mempunyai Dua Makna Yang
Saling Berkaitan. Di Satu Pihak, Tugas Tersebut Dapat Diartikan Sebagai Pemeriksaan Untuk
Mengetahui Posisi Ataupun Nilai Kekayaan Negara Pada Suatu Titik Waktu Tertentu. Di Lain
Pihak, Pemeriksaan Itu Sekaligus Menyangkut Arus Anggaran Penerimaan Maupun
Pengeluaran Negara (APBN) Dalam Suatu Kurun Periode Waktu Tertentu.

Pemeriksaan Terhadap APBN Dilakukan Menyangkut Sumber Penerimaan Maupun
Arah Pengeluarannya, Termasuk Pembelanjaan Defisit Serta Penempatan Surplus Anggaran.
Defisit Anggaran Dibelanjai Dari Kombinasi Antara Penggunaan Rekening Pemerintah Yang
Ada Pada Bank Indonesia (BI) Maupun Bank Umum Dengan Penjualan Aset Negara
(Termasuk Privatisasi BUMN Serta Divestasi Aset Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) Dan
Meminjam Dari Sumber Dalam Maupun Luar Negeri Dengan Mengeluarkan Surat Utang
Negara (SUN). Dengan Kata Lain, Defisit APBN Dapat Menambah Stok Utang Negara
Maupun Mengurangi Stok Kekayaannya. Sebaliknya, Surplus Anggaran Dapat Mengurangi
Stok Utang Negara Maupun Menambah Stok Kekayaannya.

Kedua Bentuk Pemeriksaan Keuangan Negara Oleh BPK Di Atas Merupakan Bagian
Dari Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih (Clean Government) Dengan Sistem,
Proses Maupun Perangkat Aturan Yang Baik. Good Governance Dapat Diciptakan Jika Ada
Pengaturan Yang Jelas Antar Berbagai Pihak Yang Terkait.

Penyelenggaraan Pemerintah Yang Bersih Dan Tertib Itu Menuntut Adanya
Transparansi Dalam Penyelenggaraan Kehidupan Bernegara. Pemerintahan Yang Bersih Dan
Tertib Tersebut Akan Mencegah Terjadinya Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Termasuk
Kriminalitas Berupa Insider Trading Dan Transaksi Jual Beli Surat Utang Negara Maupun
Surat Berharga BI. Pihak Terkait Bukan Saja Terdiri Dari Rakyat (Berupa Pembayar Pajak
Maupun Bukan Wajib Pajak), Lembaga-Lembaga Perwakilan (DPR, DPD, Dan DPRD),
Serta Pemerintah Pusat, Dan Pemerintah Daerah.

Termasuk Stakeholders Adalah Negara Donor, Lembaga Keuangan Internasional
Pemberi Bantuan Maupun Pinjaman, Dan Investor Dalam Negeri Serta Asing Yang Membeli
SUN. Pada Masa Orde Baru, Pinjaman Pemerintah Hanya Bersumber Dari Pinjaman Lunak
(ODA-Official Development Aid) Melalui IGGI/CGI Yang Merupakan Konsorsium Negaranegara
Donor. Dalam Masa Orba Itu, Pinjaman Luar Negeri Itu Disebut Sebagai Penerimaan
Pembangunan. Sebagian Dari Pengeluaran Pembangunan Itu Pada Hakikatnya Merupakan
Pengeluaran Rutin, Seperti Honorarium Petugas Proyek Maupun Biaya Perjalanannya.

Transparansi Fiskal Menjadi Semakin Penting Setelah Berakhirnya Program IMF.
Karena Tidak Lagi Tersedia Fasilitas Penjadwalan Kembali Pinjaman Luar Negeri Melalui
Paris Club Maupun Pinjaman Baru Setidaknya Dari IMF, Indonesia Kini Semakin
Bergantung Kepada Penjualan Aktiva Negara Maupun SUN Untuk Menutup Defisit APBN.
SUN Dan Obligasi Luar Negeri Pemerintah Yang Ada Dewasa Ini Mengandung Syarat-Syarat
Komersial.

Sebagian Besar Dari SUN Yang Dijual Di Pasar Dalam Negeri Merupakan Obligasi
Pemerintah Yang Dipergunakan Untuk Merekapitalisasi Bank-Bank Nasional, Baik Berupa
Bank Negara, Bank Pembangunan Daerah, Maupun Bank Swasta. Keberhasilan Pemerintah
Melakukan Privatisasi BUMN/BUMND Dan Menjual SUN, Apakah Di Pasar Dalam Negeri
Maupun Di Pasar Keuangan Internasional, Sangat Bergantung Kepada Integritas Maupun
Ketepatan Waktu Laporan Keuangan Yang Disajikan Oleh Pemerintah Sendiri. Berbeda
Dengan APBN Pada Masa Orde Baru, Penerimaan Dari Hasil Penjualan SUN Sekarang Ini
Dibukukan Sebagai Utang Pemerintah.

Transparansi Fiskal
Transparansi Fiskal Menekankan Pada Keterbukaan Informasi Mengenai Struktur Dan
Fungsi Pemerintah, Sasaran Kebijakan Fiskal, Posisi Keuangan Sektor Negara Maupun
Proyeksi Fiskal. Pada Hakikatnya, Transparansi Fiskal Mengandung Empat Elemen Dasar
Pokok.
Elemen Dasar Pertama Adanya Kejelasan Peranan Serta Tanggung Jawab Lembaga
Negara. Dalam Kaitan Ini, Termasuk Kejelasan Pembagian Tugas, Kewenangan, Maupun
Tanggung Jawab Semua Cabang Pemerintah, Baik Legislatif, Eksekutif, Maupun Yudikatif.
Kejelasan Pengaturan Itu Juga Mencakup Mekanisme Koordinasi Dan Manajemen Kegiatan
Anggaran Maupun Nonanggaran. Hal Yang Sama Juga Berlaku Bagi Hubungan Antara
Pemerintah Dengan Institusi Negara Nonpemerintah Lainnya, Seperti BI, Bulog, BUMN,
Dan BUMND.

Keterlibatan Pemerintah Dalam Kegiatan Usaha, Baik Sebagai Regulator Maupun
Sebagai Pemilik, Hendaknya Dilakukan Secara Terbuka, Berdasarkan Aturan Maupun
Prosedur Yang Jelas Yang Berlaku Secara Umum Tanpa Diskriminasi Sehingga Dapat
Dihindarkan Praktik Monopoli Dan Oligopoli Maupun Persaingan Pasar Yang Kurang Sehat.

Perlu Diketahui Sekali Lagi Bahwa Transparansi Fiskal Memerlukan Dasar Hukum
Maupun Kerangka Administratif Pengelolaan Keuangan Negara Yang Jelas. Komitmen Yang

Menyangkut Pengeluaran Negara Hendaknya Diatur Dalam Aturan Anggaran Dan Aturan
Administratifnya Terbuka Lebar Bagi Masyarakat Luas. Pajak, Bea, Maupun Berbagai Jenis
Pungutan Oleh Pemerintah Harus Didasarkan Atas Peraturan Yang Jelas. Undang-Undang
Pajak Maupun Peraturan Yang Menjadi Dasar Pungutan Pemerintah Itu Harus Terbuka Luas
Bagi Masyarakat, Mudah Dipahami, Dan Mudah Diterapkan. Standar Kode Etik Pegawai
Negeri Perlu Diumumkan Kepada Masyarakat Dan Diawasi Penerapannya.

Elemen Dasar Kedua Transparansi Fiskal Menuntut Adanya Keterbukaan Informasi
Kepada Masyarakat Luas, Baik Berupa Kegiatan Di Masa Lalu, Pada Saat Sekarang, Maupun
Mengenai Rencana Ke Depan. Dokumentasi Anggaran, Neraca, Maupun Laporan Lainnya
Mengenai Keuangan Negara Harus Terbuka Untuk Umum Dan Mencakup Transaksi Anggaran
Resmi Maupun Kegiatan Nonbujeter Terkonsolidasi. Termasuk Di Dalam Dokumen Laporan
Itu Kewajiban Kontijensi, Pajak Terselubung, Maupun Kegiatan Kuasi Fiskal, Posisi Utang
Serta Kekayaan Negara.

Elemen Dasar Ketiga Transparansi Fiskal Adalah Adanya Keterbukaan Informasi
Dalam Proses Penyusunan Anggaran Maupun Pelaksanaan Serta Pelaporannya. APBN
Tahunan Hendaknya Disiapkan Dan Dipresentasikan Dalam Kerangka Asumsi Perkiraan
Besaran Model Ekonomi Makro Yang Komprehensif Dan Konsisten. Asumsi Ekonomi
Makro Itu Merupakan Bagian Yang Tidak Terpisahkan Dari Dokumen APBN Tersebut. UU
No. 17 Tahun 2003 Menetapkan Bahwa Laporan Pertanggungjawaban APBN/APBD
Setidaknya Terdiri Dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas Dan Catatan
Atas Laporan Keuangan Yang Disusun Sesuai Standar Akuntansi Pemerintah.

Pasal 11 Ayat (5) Dan Pasal 15 Ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara Memuat Format APBN Sesuai Dengan Format Yang Berlaku Secara Internasional
(Seperti Government Financial Statistics) Yang Disusun IMF Dan Sangat Berbeda Dengan
Format APBN Era Orde Baru. Format APBN Versi UU No. 17 Tahun 2003 Itu Lebih
Transparan Karena Data Anggaran Disusun Secara Terpadu Dan Dilaporkan Atas Dasar Gross
Basis Dengan Membedakan Antara Penerimaan Dengan Pengeluaran Serta Pembelanjaan
Defisit Anggaran. Pasal 11 Ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 Membagi Mata Anggaran
Pengeluaran Negara Berdasarkan Kelompok Ekonomi, Fungsional Maupun Kelompok
Administratif. Menurut Rincian Jenisnya Secara Ekonomi, Belanja Negara Dirinci Antara Lain

Terdiri Dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Bunga Utang, Subsidi, Hibah,
Bantuan Sosial, Dan Belanja Lain-Lain.

Menurut Fungsi, Belanja Negara Digolongkan Dalam (1) Pelayanan Umum, (2)
Pertahanan, (3) Ketertiban, Keamanan Dan Hukum, (4) Ekonomi, (5) Perlindungan
Lingkungan Hidup, (6) Perumahan Dan Pemukiman, (7) Kesehatan, (8) Pariwisata Dan
Budaya, (9) Agama, (10) Pendidikan, Dan (11) Perlindungan Sosial.

Secara Administratif Atau Organisasi, Belanja Negara Dibedakan Antara Belanja
Pemerintah Pusat Dan Belanja Pemerintah Daerah. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
Disesuaikan Dengan Susunan Kementerian Negara Maupun Lembaga Negara. Anggaran
Nonbujeter Dilaporkan Bersama Dengan Dokumen Anggaran Resmi Dengan Mengikuti
Pengelompokan Yang Sama. Format Baru Itu Diharapkan Akan Dapat Diimplementasikan
Mulai Tahun Anggaran 2005. Format Baru Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 Belum Dapat
Menggolongkan Pengeluaran Anggaran Berdasarkan Kinerja.

Dalam APBN Masa Lalu, Anggaran Nonbujeter Terdiri Dari Berbagai Sumber Dan
Tidak Dapat Dilaporkan Serta Dipertanggungjawabkan Kepada DPR. Artinya, Ada Bagian
Dari Anggaran Negara Yang Tidak Mendapatkan Persetujuan Maupun Pengawasan DPR.
Akibatnya, DPR Tidak Sepenuhnya Menjalankan Hak Bujetnya Seperti Yang Diamanatkan
Dalam Pasal 23 UUD 1945. Anggaran Nonbujeter Yang Tidak Dikonsolidasikan Sekaligus
Menyulitkan Penilaian Ongkos Atau Biaya Yang Sebenarnya Atas Kegiatan Satuan Kerja
Pemerintah. Sumber-Sumber Anggaran Nonbujeter Dalam APBN Orde Baru Termasuk Kredit
Program Bank-Bank Negara, Kredit Dari BI Untuk Menutup Gagal Bayar PN Pertamina
Tahun 1970-An, Bulog, BUMN Serta Berbagai Yayasan Milik Instansi Resmi.

Implementasi Anggaran Dilaporkan Secara Periodik, Secara Kuartalan Maupun
Pertengahan Tahun. Pertanggungjawaban Realisasi Anggaran Dilakukan Pada Setiap Akhir
Tahun. Publikasi Mengenai Informasi Keuangan Negara Harus Dapat Dibuat Tepat Waktu,
Dan Publikasi Dibuat Secara Resmi, Sehingga Merupakan Dokumen Resmi Yang Mengikat
Bagi Pemerintah.

Elemen Dasar Keempat Transparansi Fiskal Adalah Menyangkut Kebenaran Ataupun
Integritas Keuangan Negara. Data Anggaran Mencerminkan Proyeksi Penerimaan Dan
Pengeluaran Negara Yang Disusun Berdasarkan Asumsi Perkembangan Ekonomi Makro
Tertentu Untuk Mewujudkan Komitmen Kebijakan Pemerintah Yang Tertentu Pula.

Kebenaran Data Yang Dimuat Dalam Dokumen Anggaran Perlu Dipelihara Dan Disusun
Berdasarkan Standar Akuntansi Baku Dan Perlu Diperiksa Konsistensi Internalnya Dan
Direkonsiliasikan Dengan Data Dari Sumber Lainnya. Pada Akhirnya, Kebenaran Dan
Konsistensi Data Anggaran Itu Diaudit Oleh BPK.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar