Rabu, 15 Februari 2012

Resensi hukum dalam jagad ketertiban


PENDAHULUAN
            Bacaan “Hukum Dalam Jagat Ketertiban” karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H terbitan UKI Press pada tahun 2006  merupakan bacaan yang ditujukan untuk mahasiswa program doctor. Sehingga dalam membuat critical review mengenai bacaan ini cukuplah sulit. Karena kami adalah mahasiswa program sarjana atau S1. Terkadang sebuah kritikan dipandang sebagai ejekan atau cemoohan secara halus, akan tetapi sesungguhnya kritik berguna untuk saling membantu agar sesuatu itu menjadi lebih baik.
            Pada dasarnya hukum adalah sesuatu yang di ciptakan oleh manusia lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka, hukum haruslah memiliki nurani untuk menutup kekurangannya dan menambah kelebihannya. Sehingga tidak hanya sebagai alat yang tegas untuk mengatur dan menciptakan ketertiban. Seorang yang memandang hukum secara sosiologis terkadang mendapat pandangan sebagai pemberi kesempatan terhadap para pelanggar hukum. Padahal sebenarnya mereka hanyalah ingin menegakkan hukum sesuai nurani dan menciptakan keadilan yang sebenar-benarnya dalam masyarakat.
            Hukum dibuat dengan  tujuan untuk mengatur masyarakat dan menertibkannya. Akan tetapi sebelum masuk kedalamnya, kita haruslah paham mengenai arti ketertiban yang sebenarnya dalam mayarakat. Jika di telaah kembali hukum merupakan bagian kecil yang mengambil alih dalam menertibkan masyarakat. Ada bagian-bagian lain selain hukum yang dapat menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu perlulah untuk mengerti tentang jagat ketertiban itu sendiri.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa kelebihan dan kekurangan dari buku ini?
2. Kritik dan saran apa yang cocok untuk buku ini?
TUJUAN
1. Memberi kelebihan dan kekurangan dari buku ini
2. Memberi kritik dan saran yang sesuai untuk buku ini
PEMBAHASAN (CRITICAL REVIEW)
Dalam buku karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H (Prof. Tjip) beliau membagi pembahasan dalam dua bagian. Bagian pertama tentang “Wajah Ilmu Hukum dalam Perkembangan” masih dibagi lagi menjadi tujuh sub bagian, diantaranya adalah kesatuan ilmu pengetahuan, ilmu hukum dan garis depan sains, hukum dan pascamodernisme, dan lainnya. Kemudian di bagian kedua “Hukum dalam Jagat Ketertiban” beliau juga membagi kedalam tujuh bagian. Beberapa sub bagiannya berjudul hukum dalam jagat ketertiban, asas-asas hukum, kepastian hukum, dan lainnya.
Dalam sebuah lingkungan manusia selalu terjadi perubahan yang bergerak maju dan dinamis. Sehingga menuntut mereka (manusia) untuk dapat bertahan hidup dan berilmu pengetahuan yang bergerak maju dan dinamis pula. Dengan ketentuan seperti itu maka, sebuah ilmu tidak dapat berjalan atau pun berdiri sendiri, akan tetapi justru berjalan bersama-sama. Sesuai dengan buku yang saya baca ini Prof. Tjip lebih menekankan bahwa ilmu hukum itu tidak dapat berdiri sendiri dalam menertibkan masyarakat. Tetapi membutuhkan ilmu bantu lain guna membantu ilmu hukum itu sendiri menciptakan ketertiban.
Selain itu, Prof. Tjip juga menjelaskan tentang pembuatan undang-undang di Indonesia  yang harusnya lebih mementingkan masyarakat. Sesuai dengan buku ini menurut beliau dalam membuat sebuah undang-undang haruslah melihat kepada kebutuhan masyarakat yang ada dan bukan hanya mengutamakan pembuatan secara teknis formal saja. Agar dalam penerapan terwujudlah suatu ketertiban yang sejatinya adalah tujuan  dari hukum. Beliau juga memaparkan bahwa dalam membuat undang-undang itu sendiri memungkinkan untuk terjadinya kriminalitas seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pada bagian kedua lebih menjelaskan kepada inti sari dan pemikiran utama dari buku ini. Dalam bagian ini Prof. Tjip menerangkan bahwa jika ilmu hukum ingin menjadi ilmu yang sebenar-benarnya maka haruslah tidak hanya mengetahui hukum negara saja. Karena jika berpedoman pada hukum negara saja maka hukum tidak akan bisa memperlihatkan kelebihannya dalam menciptakan ketertiban dibanding dengan kaidah sosial lain.
Kemudian beliau juga memaparkan bahwa asas bukanlah hanya baju saja bagi hukum, melainkan sebagai pedoman untuk melaksanakan hukum. Jadi tidak hanya membaca undang-undang saja tapi menjalankannya sesuai makna yang di kandung dalam undang-undang tersebut.
Menurut saya buku ini sudah sesuai untuk di baca, karena sudah memenuhi bagian yang ada. Ejaan yang di gunakan juga sudah memenuhi ketentuan. Akan tetapi bahasa yang digunakan masih sukar untuk di mengerti. Istilah yang mungkin masih jarang di dengarkan.
Apabila bicara mengenai bagian dari tiap-tiap bagian bacaan yang ada, masih memiliki sedikit kekurangan. Pada setiap bagian judul bacaan atau risalah ada yang dilengkapi dengan penutup dan ada juga yang tidak. Padahal sesungguhnya penutup dari bagian-bagian ini sangat penting agar para pembaca lebih mengerti inti dari risalah tersebut. Kemudian kelebihan dari bagian-bagian risalah itu adalah mengenai fakta-faktanya. Prof. Tjip menyuguhkan berbagai kutipan yang benar dan nyata ada.
Kemudian jika membicarakan tentang isi, Prof. Tjip dalam buku ini memberatkan bahwa hukum adalah produk yang gagal dalam mengatur jagat ketertiban masyarakat. Yang padahal tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Bagi saya hukum tidak hanya bisa berpandangan sosiologis saja, memandang semua adalah harus berperi kemanusiaan, akan tetapi normatif juga. Karena di dalam itu semua, jika memberatkan kepada satu sisi maka tidak akan ada keseimbangan hukum.








PENUTUP
            Buku ini memiliki berbagai banyak pengetahuan yang diperlukan untuk kita. Akan tetapi tentu saja masih ada kekurangan karena sejatinya tidak ada yang sempurna. Berbagi kritik dan saran bukan lah untuk membuat suatu masalah atau kekacauan akan tetapi lebih kepada membangun diri untuk menjadi lebih baik.

Poligami dalam islam

Poligami dalam Islam
Islam pada dasarnya 'memperbolehkan' seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Islam 'memperbolehkan' seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat 'adil' terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 ).Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang memperketat aturan poligAMi untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara arab dimana poligami tidak diperbolehkan.

Alasan dibolehkan poligami di awal generasi Islam mengambil ungkapan Muhammad Abduh menurut Faizah adalah
(1) Saat itu jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan akibat perang,
(2) Untuk mempercepat penyebaran Islam karena diharapkan dengan menikahi seorang perempuan maka seluruh keluarganya pun memeluk Islam, dan
(3) Mencegah munculnya konflik antar suku.

Bahkan Nabi marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib. Nabi pun langsung masuk ke masjid, naik mimbar dan berkhutbah di depan banyak orang, “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib,” sabda Nabi, “innî lâ ‘âdzan, (saya tidak akan izinkan), tsumma lâ ‘âdzan (sama sekali, saya tidak akan izinkan), tsumma lâ âdzan illâ an ahabba ‘ibn Abî Thâlib an yuthalliq ‘ibnatî, (sama sekali, saya tidak akan izinkan, kecuali bila anak Abi Thalib (Ali) menceraikan anakku dahulu).”

Lalu Nabi melanjutkan, “Fâthimah bidh‘atun minnî, yurîbunî mâ ‘arâbahâ wa yu’dzînî mâ ‘adzâhâ, Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

SYARAT POLIGAMI (Pasal 5 UU Perkawinan)

Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:

a. adanya persetujuan dari istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).

Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan.


MANFAAT POLIGAMI

1. Terkadang kaum wanita tidak lagi memiliki gairah dan keinginan untuk berhubungan suami istri karena kondisi biologis. Maka seorang suami menikah dengan wanita lain lebih baik daripada menceraikan istrinya. Demikain pula terkadang seorang istri ada yang mandul, sedang untuk menceraikan tidak mungkin, sehingga terjadi problem rumah tangga. Maka jalan keluar yang terbaik adalah dengan berpoligami.

2.Terkadang ada seorang wanita yang berusia agak lanjut (dan belum menikah), atau mengalami cacat dan kekurangan dari segi fisik, sehingga dia sangat memungkinkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang telah memiliki istri.

3. Jumlah kaum wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, bahkan mungkin berlipat ganda. Maka kaum laki-laki jelas menghadapi kerusakan dan bahaya yang besar. Membatasi hanya menikah dengan satu wanita saja jelas menjadikan jumlah wanita tak bersuami akan membengkak. Padahal tidak menikahnya para wanita akan menimbulkan problem yang sangat besar, seperti terlantarnya kaum wanita, kemiskinan, serta kesempitan jiwa dan beban psikologis. Ini jelas akan membuka berbagai pintu kerusakan, na'udzu billah min dzalik.

Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami:

1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

2. Dampak ekonomi rumah tangga: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

3. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.

4. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.

Seringkali terjadi, para istri yang menerima suaminya berpoligami, akhirnya enggan untuk mengurus segala sesuatu, misalnya tentang nafkah. Hal ini diakibatkan karena istri sudah merasa kehilangan harapan. Atau bisa juga karena istri tidak mengetahui hak-haknya secara jelas.

Bila ini terjadi pada Anda, Anda bisa meminta bantuan kepada beberapa lembaga terdekat yang peduli pada persoalan seperti itu.

Diantaranya:
» Lembaga Bantuan Hukum (terutama untuk perempuan)
» Lembaga lain yang konsern pada persoalan perempuan
» Lembaga-lembaga Konsultasi Perkawinan
» Pengadilan yang memberikan ijin suami Anda berpoligami

bpk dan transparasi fiskal


BPK dan Transparansi Fiskal

Tuntutan Masyarakat Untuk Melakukan Reformasi Sistem Sosial, Politik, Dan
Ekonomi Guna Mewujudkan Demokrasi Telah Mengubah Sistem Dan Struktur Pemerintahan
Indonesia. Sementara Itu, Tuntutan Untuk Mengikis KKN Memerlukan Peningkatan
Transparansi Fiskal Atau Pengelolaan Maupun Pertanggungjawaban Keuangan Negara.
Transparansi Fiskal Merupakan Komponen Utama Dari Upaya Penciptaan Clean Government
Dan Good Governance. Sebagai Lembaga Pemeriksa Keuangan Negara, BPK RI Sangat
Berperan Dalam Mewujudkan Transparansi Fiskal Itu.

Tuntutan Reformasi Tersebut Telah Diwujudkan Dalam Bentuk Rangkaian Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 Dan Perubahan Perangkat Hukum Lain, Perubahan Kebijakan
Pemerintah Maupun Perubahan Mendasar Dalam Hal Pengelolaan Keuangan Negara.
Perubahan Dalam Sistem Dan Struktur Pemerintahan Antara Lain Tercermin Dari Perluasan
Otonomi Daerah Dan Pembagian Hak Serta Tanggung Jawab Antartingkat Pemerintahan.
Salah Satu Perubahan Mendasar Dalam Hal Pengelolaan Keuangan Negara Adalah Diaturnya
Kembali Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah.

Perubahan Sistem Pemerintahan Sekaligus Mengubah Lembaga Negara. Salah Satu
Perubahan Dalam Bidang Ini Adalah Dengan Menciptakan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) Dan Menata Ulang Fungsi Serta Peranan MPR. Anggota DPD Dipilih Dari Setiap
Provinsi Melalui Pemilihan Umum. Sementara Itu, MPR Kini Terdiri Dari Anggota DPR Dan
DPD, Tidak Lagi Memilih Presiden Dan Wakil Presiden Serta Tidak Lagi Menetapkan Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada Masa Lalu GBHN Menjadi Dasar Penyusunan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Yang Merupakan Program Pemerintah.
Dewasa Ini, Program Pemerintah Itu Disusun Berdasarkan Platform Presiden Yang Langsung Dipilih Oleh Rakyat.

Fungsi Dan Kedudukan BPK

Dalam Suatu Negara Demokratis, Sektor Pemerintah Dipisahkan Dengan Tegas Dari
Sektor Negara Maupun Dari Perekonomian Secara Keseluruhan. Kebijakan Maupun Fungsi
Manajemen Dalam Sektor Negara Harus Dibuat Transparan Dan Terbuka Luas Secara Umum.

Dalam Konteks Kehidupan Bernegara Di Indonesia Dewasa Ini, UUD 1945 Menciptakan
BPK Sebagai Lembaga Tinggi Negara Dengan Tugas Pokok Melakukan Pemeriksaan Atas
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Baik Berupa Stok Asetnya Maupun
Transaksi Dalam Membelanjai Kegiatannya. BPK Memeriksa Keuangan Negara Di Semua
Lapisan Tingkat Pemerintahan Di Indonesia.

Perubahan Ketiga Dari UUD 1945 Menempatkan BPK Dalam Suatu Bab Tersendiri
Yang Tadinya Hanya Disebut Dalam Ayat (5) Pasal 23 Dalam UUD 1945 Versi Semula.
Kedudukan, Tugas, Organisasi, Dan Cara Pemilihan Anggota BPK Juga Lebih Jelas Diatur
Dalam Perubahan UUD 1945 Yang Ketiga Itu. Untuk Dapat Melaksanakan Tugasnya, Pasal
23 G, Ayat 1 UUD 1945 Menyebut Bahwa, "BPK Berkedudukan Di Ibu Kota Negara, Dan
Memiliki Perwakilan Di Setiap Provinsi." Dengan Demikian, Kedudukan Maupun Peranan
BPK Dalam Mewujudkan Transparansi Fiskal Dan Menciptakan Clean Government Dan Good
Governance Di Indonesia Menjadi Lebih Jelas Dan Kokoh Dalam Perubahan UUD 1945
Yang Ketiga Itu.

Tujuan Pemeriksaan Oleh BPK Adalah Untuk Memelihara Transparansi Fiskal Guna
Menciptakan Clean Government Dan Good Governance. Elemen Pokok Transparansi Fiskal
Itu Berupa Integritas Ataupun Kebenaran Laporan Keuangan Negara. Dalam Pergaulan Dunia
Internasional, Standar Akuntansi Sektor Negara Disusun Oleh The Public Sector Committee
Of The International Federation Of Accountants (IFACPSC). Sementara Itu, Organisasi
Internasional Lembaga Tinggi Yang Melakukan Pemeriksaan Atau Audit Keuangan Negara
(INTOSAI-The International Organization Of Supreme Audit Institutions) Telah Menyusun
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Standar Yang Disusun Oleh Kedua Organisasi
Internasional, Serta Standar Yang Disusun Oleh Dana Moneter Internasional (IMF),
Dianggap The Best Practices Yang Menjadi Acuan Dunia.

Dilihat Dari Sudut Ilmu Manajemen, Pemeriksaan Keuangan Negara Yang Dilakukan
Oleh BPK Merupakan Mata Rantai Dari Siklus Perencanaan Nasional Jangka Panjang
Maupun Siklus Anggaran Tahunan. Dalam Kaitan Ini, Pasal 23E Ayat (2) Perubahan Ketiga
UUD 1945 Mengamanatkan Agar BPK Dapat Menyerahkan Hasil Pemeriksaannya Secara
Tepat Waktu Kepada DPR, DPD, Dan DPRD Sesuai Dengan Kewenangannya Masingmasing.
Amanat UUD 1945 Tersebut Diterjemahkan Dalam UU No. 17 Tahun 2003 Yang
Menugaskan BPK Agar Dapat Menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Dan
Daerah Kepada DPR Dan DPRD Selambat-Lambatnya Enam Bulan Setelah Berakhirnya
Tahun Anggaran.

Setelah Selesai Melakukan Pemeriksaan, BPK Menyusun Laporan Tertulis Atas Hasil
Pemeriksaannya. Laporan Pemeriksaan Itu Hendaknya Bersifat Independen, Objektif, Adil,
Dan Konstruktif. Suatu Laporan Bersifat Membangun Jika Diikuti Dengan Saran-Saran
Perbaikan Atas Temuan-Temuan Kekurangan Maupun Penyimpangan Yang Ada. Pasal 23E
UUD 1945 Mengamanatkan Agar Hasil Pemeriksaan BPK Ditindaklanjuti Oleh Lembagalembaga
Perwakilan Dan/Atau Badan Sesuai Dengan Undang-Undang. Isi Laporan BPK Itu
Sekaligus Merupakan Penilaian Atas Proyeksi Fiskal Maupun Ekonomi Makro Yang Menjadi
Dasar Penyusunan Anggaran Negara.

Agar Dapat Memberikan Opini Yang Adil Dan Objektif, Perubahan Ketiga UUD 1945
Menetapkan BPK Sebagai Suatu Lembaga Independen Yang Bebas Dan Mandiri (Pasal 23 F
Ayat 1). Ayat (2) Pasal 23 F Itu Kemudian Mengatur Bahwa Anggota BPK Dipilih Oleh DPR
Dengan Memperhatikan Pertimbangan DPD Dan Diresmikan Oleh Presiden. Pimpinan BPK
Dipilih Dari Dan Oleh Anggotanya Sendiri.

Namun, Masa Jabatan Dan Cara Pemberhentian Anggota BPK Masih Perlu Diatur
Dalam Undang-Undang Tersendiri. Undang-Undang Tersendiri Mengenai BPK Itu
Diharapkan Akan Sekaligus Mengatur Lebih Rinci Mengenai Tugas, Kewenangan, Dan
Akuntabilitas BPK. Termasuk Di Dalamnya Menyangkut Pengaturan Tentang Esensi
Independensi BPK Dalam Hal Anggaran, Perlindungan Hukum Serta Hubungan Maupun
Cara Penyelesaian Konflik Dengan Instansi Pemerintahan Lainnya.
Independensi BPK Bukan Berarti Ia Tidak Akuntabel, Dapat Berjalan Sendiri Tanpa
Kendali Maupun Pengawasan Dari Lembaga Lain. Apakah Dalam Hal Kebijakan Maupun
Anggaran. Yang Dimaksud Dengan Independensi BPK Hanya Menyangkut Hubungan
Kerjanya Dengan Instansi Pemerintah Lainnya, Terutama Oleh Penyampaian Opini Maupun
Saran-Saran Korektif Atas Hasil Temuan Pemeriksaannya.

Makna Pemeriksaan Keuangan Oleh BPK

Tugas Pemeriksaan Keuangan Negara Oleh BPK Mempunyai Dua Makna Yang
Saling Berkaitan. Di Satu Pihak, Tugas Tersebut Dapat Diartikan Sebagai Pemeriksaan Untuk
Mengetahui Posisi Ataupun Nilai Kekayaan Negara Pada Suatu Titik Waktu Tertentu. Di Lain
Pihak, Pemeriksaan Itu Sekaligus Menyangkut Arus Anggaran Penerimaan Maupun
Pengeluaran Negara (APBN) Dalam Suatu Kurun Periode Waktu Tertentu.

Pemeriksaan Terhadap APBN Dilakukan Menyangkut Sumber Penerimaan Maupun
Arah Pengeluarannya, Termasuk Pembelanjaan Defisit Serta Penempatan Surplus Anggaran.
Defisit Anggaran Dibelanjai Dari Kombinasi Antara Penggunaan Rekening Pemerintah Yang
Ada Pada Bank Indonesia (BI) Maupun Bank Umum Dengan Penjualan Aset Negara
(Termasuk Privatisasi BUMN Serta Divestasi Aset Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) Dan
Meminjam Dari Sumber Dalam Maupun Luar Negeri Dengan Mengeluarkan Surat Utang
Negara (SUN). Dengan Kata Lain, Defisit APBN Dapat Menambah Stok Utang Negara
Maupun Mengurangi Stok Kekayaannya. Sebaliknya, Surplus Anggaran Dapat Mengurangi
Stok Utang Negara Maupun Menambah Stok Kekayaannya.

Kedua Bentuk Pemeriksaan Keuangan Negara Oleh BPK Di Atas Merupakan Bagian
Dari Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih (Clean Government) Dengan Sistem,
Proses Maupun Perangkat Aturan Yang Baik. Good Governance Dapat Diciptakan Jika Ada
Pengaturan Yang Jelas Antar Berbagai Pihak Yang Terkait.

Penyelenggaraan Pemerintah Yang Bersih Dan Tertib Itu Menuntut Adanya
Transparansi Dalam Penyelenggaraan Kehidupan Bernegara. Pemerintahan Yang Bersih Dan
Tertib Tersebut Akan Mencegah Terjadinya Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Termasuk
Kriminalitas Berupa Insider Trading Dan Transaksi Jual Beli Surat Utang Negara Maupun
Surat Berharga BI. Pihak Terkait Bukan Saja Terdiri Dari Rakyat (Berupa Pembayar Pajak
Maupun Bukan Wajib Pajak), Lembaga-Lembaga Perwakilan (DPR, DPD, Dan DPRD),
Serta Pemerintah Pusat, Dan Pemerintah Daerah.

Termasuk Stakeholders Adalah Negara Donor, Lembaga Keuangan Internasional
Pemberi Bantuan Maupun Pinjaman, Dan Investor Dalam Negeri Serta Asing Yang Membeli
SUN. Pada Masa Orde Baru, Pinjaman Pemerintah Hanya Bersumber Dari Pinjaman Lunak
(ODA-Official Development Aid) Melalui IGGI/CGI Yang Merupakan Konsorsium Negaranegara
Donor. Dalam Masa Orba Itu, Pinjaman Luar Negeri Itu Disebut Sebagai Penerimaan
Pembangunan. Sebagian Dari Pengeluaran Pembangunan Itu Pada Hakikatnya Merupakan
Pengeluaran Rutin, Seperti Honorarium Petugas Proyek Maupun Biaya Perjalanannya.

Transparansi Fiskal Menjadi Semakin Penting Setelah Berakhirnya Program IMF.
Karena Tidak Lagi Tersedia Fasilitas Penjadwalan Kembali Pinjaman Luar Negeri Melalui
Paris Club Maupun Pinjaman Baru Setidaknya Dari IMF, Indonesia Kini Semakin
Bergantung Kepada Penjualan Aktiva Negara Maupun SUN Untuk Menutup Defisit APBN.
SUN Dan Obligasi Luar Negeri Pemerintah Yang Ada Dewasa Ini Mengandung Syarat-Syarat
Komersial.

Sebagian Besar Dari SUN Yang Dijual Di Pasar Dalam Negeri Merupakan Obligasi
Pemerintah Yang Dipergunakan Untuk Merekapitalisasi Bank-Bank Nasional, Baik Berupa
Bank Negara, Bank Pembangunan Daerah, Maupun Bank Swasta. Keberhasilan Pemerintah
Melakukan Privatisasi BUMN/BUMND Dan Menjual SUN, Apakah Di Pasar Dalam Negeri
Maupun Di Pasar Keuangan Internasional, Sangat Bergantung Kepada Integritas Maupun
Ketepatan Waktu Laporan Keuangan Yang Disajikan Oleh Pemerintah Sendiri. Berbeda
Dengan APBN Pada Masa Orde Baru, Penerimaan Dari Hasil Penjualan SUN Sekarang Ini
Dibukukan Sebagai Utang Pemerintah.

Transparansi Fiskal
Transparansi Fiskal Menekankan Pada Keterbukaan Informasi Mengenai Struktur Dan
Fungsi Pemerintah, Sasaran Kebijakan Fiskal, Posisi Keuangan Sektor Negara Maupun
Proyeksi Fiskal. Pada Hakikatnya, Transparansi Fiskal Mengandung Empat Elemen Dasar
Pokok.
Elemen Dasar Pertama Adanya Kejelasan Peranan Serta Tanggung Jawab Lembaga
Negara. Dalam Kaitan Ini, Termasuk Kejelasan Pembagian Tugas, Kewenangan, Maupun
Tanggung Jawab Semua Cabang Pemerintah, Baik Legislatif, Eksekutif, Maupun Yudikatif.
Kejelasan Pengaturan Itu Juga Mencakup Mekanisme Koordinasi Dan Manajemen Kegiatan
Anggaran Maupun Nonanggaran. Hal Yang Sama Juga Berlaku Bagi Hubungan Antara
Pemerintah Dengan Institusi Negara Nonpemerintah Lainnya, Seperti BI, Bulog, BUMN,
Dan BUMND.

Keterlibatan Pemerintah Dalam Kegiatan Usaha, Baik Sebagai Regulator Maupun
Sebagai Pemilik, Hendaknya Dilakukan Secara Terbuka, Berdasarkan Aturan Maupun
Prosedur Yang Jelas Yang Berlaku Secara Umum Tanpa Diskriminasi Sehingga Dapat
Dihindarkan Praktik Monopoli Dan Oligopoli Maupun Persaingan Pasar Yang Kurang Sehat.

Perlu Diketahui Sekali Lagi Bahwa Transparansi Fiskal Memerlukan Dasar Hukum
Maupun Kerangka Administratif Pengelolaan Keuangan Negara Yang Jelas. Komitmen Yang

Menyangkut Pengeluaran Negara Hendaknya Diatur Dalam Aturan Anggaran Dan Aturan
Administratifnya Terbuka Lebar Bagi Masyarakat Luas. Pajak, Bea, Maupun Berbagai Jenis
Pungutan Oleh Pemerintah Harus Didasarkan Atas Peraturan Yang Jelas. Undang-Undang
Pajak Maupun Peraturan Yang Menjadi Dasar Pungutan Pemerintah Itu Harus Terbuka Luas
Bagi Masyarakat, Mudah Dipahami, Dan Mudah Diterapkan. Standar Kode Etik Pegawai
Negeri Perlu Diumumkan Kepada Masyarakat Dan Diawasi Penerapannya.

Elemen Dasar Kedua Transparansi Fiskal Menuntut Adanya Keterbukaan Informasi
Kepada Masyarakat Luas, Baik Berupa Kegiatan Di Masa Lalu, Pada Saat Sekarang, Maupun
Mengenai Rencana Ke Depan. Dokumentasi Anggaran, Neraca, Maupun Laporan Lainnya
Mengenai Keuangan Negara Harus Terbuka Untuk Umum Dan Mencakup Transaksi Anggaran
Resmi Maupun Kegiatan Nonbujeter Terkonsolidasi. Termasuk Di Dalam Dokumen Laporan
Itu Kewajiban Kontijensi, Pajak Terselubung, Maupun Kegiatan Kuasi Fiskal, Posisi Utang
Serta Kekayaan Negara.

Elemen Dasar Ketiga Transparansi Fiskal Adalah Adanya Keterbukaan Informasi
Dalam Proses Penyusunan Anggaran Maupun Pelaksanaan Serta Pelaporannya. APBN
Tahunan Hendaknya Disiapkan Dan Dipresentasikan Dalam Kerangka Asumsi Perkiraan
Besaran Model Ekonomi Makro Yang Komprehensif Dan Konsisten. Asumsi Ekonomi
Makro Itu Merupakan Bagian Yang Tidak Terpisahkan Dari Dokumen APBN Tersebut. UU
No. 17 Tahun 2003 Menetapkan Bahwa Laporan Pertanggungjawaban APBN/APBD
Setidaknya Terdiri Dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas Dan Catatan
Atas Laporan Keuangan Yang Disusun Sesuai Standar Akuntansi Pemerintah.

Pasal 11 Ayat (5) Dan Pasal 15 Ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara Memuat Format APBN Sesuai Dengan Format Yang Berlaku Secara Internasional
(Seperti Government Financial Statistics) Yang Disusun IMF Dan Sangat Berbeda Dengan
Format APBN Era Orde Baru. Format APBN Versi UU No. 17 Tahun 2003 Itu Lebih
Transparan Karena Data Anggaran Disusun Secara Terpadu Dan Dilaporkan Atas Dasar Gross
Basis Dengan Membedakan Antara Penerimaan Dengan Pengeluaran Serta Pembelanjaan
Defisit Anggaran. Pasal 11 Ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 Membagi Mata Anggaran
Pengeluaran Negara Berdasarkan Kelompok Ekonomi, Fungsional Maupun Kelompok
Administratif. Menurut Rincian Jenisnya Secara Ekonomi, Belanja Negara Dirinci Antara Lain

Terdiri Dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Bunga Utang, Subsidi, Hibah,
Bantuan Sosial, Dan Belanja Lain-Lain.

Menurut Fungsi, Belanja Negara Digolongkan Dalam (1) Pelayanan Umum, (2)
Pertahanan, (3) Ketertiban, Keamanan Dan Hukum, (4) Ekonomi, (5) Perlindungan
Lingkungan Hidup, (6) Perumahan Dan Pemukiman, (7) Kesehatan, (8) Pariwisata Dan
Budaya, (9) Agama, (10) Pendidikan, Dan (11) Perlindungan Sosial.

Secara Administratif Atau Organisasi, Belanja Negara Dibedakan Antara Belanja
Pemerintah Pusat Dan Belanja Pemerintah Daerah. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
Disesuaikan Dengan Susunan Kementerian Negara Maupun Lembaga Negara. Anggaran
Nonbujeter Dilaporkan Bersama Dengan Dokumen Anggaran Resmi Dengan Mengikuti
Pengelompokan Yang Sama. Format Baru Itu Diharapkan Akan Dapat Diimplementasikan
Mulai Tahun Anggaran 2005. Format Baru Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 Belum Dapat
Menggolongkan Pengeluaran Anggaran Berdasarkan Kinerja.

Dalam APBN Masa Lalu, Anggaran Nonbujeter Terdiri Dari Berbagai Sumber Dan
Tidak Dapat Dilaporkan Serta Dipertanggungjawabkan Kepada DPR. Artinya, Ada Bagian
Dari Anggaran Negara Yang Tidak Mendapatkan Persetujuan Maupun Pengawasan DPR.
Akibatnya, DPR Tidak Sepenuhnya Menjalankan Hak Bujetnya Seperti Yang Diamanatkan
Dalam Pasal 23 UUD 1945. Anggaran Nonbujeter Yang Tidak Dikonsolidasikan Sekaligus
Menyulitkan Penilaian Ongkos Atau Biaya Yang Sebenarnya Atas Kegiatan Satuan Kerja
Pemerintah. Sumber-Sumber Anggaran Nonbujeter Dalam APBN Orde Baru Termasuk Kredit
Program Bank-Bank Negara, Kredit Dari BI Untuk Menutup Gagal Bayar PN Pertamina
Tahun 1970-An, Bulog, BUMN Serta Berbagai Yayasan Milik Instansi Resmi.

Implementasi Anggaran Dilaporkan Secara Periodik, Secara Kuartalan Maupun
Pertengahan Tahun. Pertanggungjawaban Realisasi Anggaran Dilakukan Pada Setiap Akhir
Tahun. Publikasi Mengenai Informasi Keuangan Negara Harus Dapat Dibuat Tepat Waktu,
Dan Publikasi Dibuat Secara Resmi, Sehingga Merupakan Dokumen Resmi Yang Mengikat
Bagi Pemerintah.

Elemen Dasar Keempat Transparansi Fiskal Adalah Menyangkut Kebenaran Ataupun
Integritas Keuangan Negara. Data Anggaran Mencerminkan Proyeksi Penerimaan Dan
Pengeluaran Negara Yang Disusun Berdasarkan Asumsi Perkembangan Ekonomi Makro
Tertentu Untuk Mewujudkan Komitmen Kebijakan Pemerintah Yang Tertentu Pula.

Kebenaran Data Yang Dimuat Dalam Dokumen Anggaran Perlu Dipelihara Dan Disusun
Berdasarkan Standar Akuntansi Baku Dan Perlu Diperiksa Konsistensi Internalnya Dan
Direkonsiliasikan Dengan Data Dari Sumber Lainnya. Pada Akhirnya, Kebenaran Dan
Konsistensi Data Anggaran Itu Diaudit Oleh BPK.